Menyambung Asa Dengan Kasur Kapuk
Oleh : Mawarni Sofiyani
Tak
kenal lelah ia berjalan dengan tumpukan
yang menggundul di pundak rapuhnya yang sudah tak kuat seperti dulu lagi. Ia
adalah salah satu orang dari berjuta-juta masyarakat di Indonesia yang pekerjaanya
tersisihkan oleh kemajuan zaman.
Di
dalam kehidupan yang modern ini sesuatu mudah untuk di dapatkan, dari makanan
instan dan produk perabotan yang satu sama lain bersaingan untuk mendapatkan
daya jual yang tinggi salah satunya Springbed. namun banyak orang yang tidak
tahu akan kemunculan Springbed membuat perajin kasur kapuk semakin menipis dan
kehilangan pekerjaan yang sudah mereka jalani dari dulu. Salah satunya Ny.
Gabug (52) yang menjalani pekerjaan mendedel dan memperbaiki kasur yang rusak
dengan tangan mungil yang keriput, di bantu dengan peralatan sederhanya yang
membalut tangan kriputnya ia berusaha menyambung benang untuk menyambung
kelangsungan hidupnya bersama sang cucu.
Ia
tinggal dengan cucu laki-lakinya Ranto (9) di sebuah rumah yang mampu membuat
mereka tidur walaupun dalam keadaaan yang cukup sederhana. Ranto di titipkan
dengan neneknya karena sang ibunya sedang mengaduh nasib di Arab Saudi
sedangkan ayahnya meninggal di dalam insiden maut ketika ia sedang berlaut di
singapura.
Tak
peduli bagaimana teriknya matahari yang terpapar di atas sehingga menyengat
kulit-kulit tubuhnya yang berwarna hitam di balut dengan keringat yang menetes
dari jidatnya, ia tetap berjalan dengan menggendong kapuk-kapuk yang akan
menjadi bahan perbaikan untuk kasur yang ia perbaiki. “ semenjak warga-warga
sudah memilih membeli kasur springbed, peminat kasur kapuk semakin menipis
sehingga jarang sekali warga desa menyuruhnya untuk memperbaiki kasur mereka”
ujarnya.
Ny.
Gabug mengakui bahwapekerjaan tersebut mnejadi gantungan hidup selama
bertahun-tahun , walaupun akhir-akhir ini pelanggan semakin berkurang. Alhasil
ia berusaha mencari warga pelanggan dengan cara berjalan kaki mengelilingi
desa-desa, ketika ia lelah ia akan berhenti sejenak hanya untuk mengumpulkan
tenaga untuk berjalan lagi, bahkan ketika ia mencari pelanggan ia tidak makan
karena kefikiran sang cucu yang mungkin belum makan juga, kadang cucunya ingin
membantu sang nenek, namun ia melarangnya karena ia tidak mau sang cucu
merasakan lelahnya bekerja seharian sambil menenteng barang-barang dan tetek
bengek lainya. Ny. Gabug mengakui bahwa ia termasuk salah satu orang yang
bertahan untuk tetap menjalani pekerjaan ini, karena rekan-rekannya sudah
meneyerah karena minimnya permintaan pelanggan.
Dahulu
masih sulit di hitung banyaknya para penjahit kasur ini, namun sekarang sudah
bisa di hitung jumlahnya yang sedikit. Uang hasil kerjanyapun kadang kurang
untuk membiayai kehidupannya, biaya servis kasur sebesar Rp 30.000-Rp 50.000,
di hitung dengan lelahnya ia seharian bekerja namun itu selalu Ny. Gabug terima
dengan lapang dada.
Dalam kehidupan Ny. Gabug ia pernah merasakan
senang ketika suami tercinta masih ada dengannya walaupun dalam keadaan yang
sederhana, namun kanker yang menggrogoti sang suami semakin parah dan Ny. Gabug
tak punya uang untuk berobatnya sang suami, sehingga sang suami meninggalkan ia
terlebih dahulu.
Selain
memperbaiki kasur kapuk ia mengaku tak punya ke ahlian lain yang bisa ia
lakukan untuk menyeimbangi zaman yang semakin maju ini, dengan profesinya ini
ia tak berharap banyak, hanya dengan jarum sebesar paku beton dan segumpal
kapuk yang selalu menjadi penyambung hidupnya, jika dahulu ia bisa mempunyai
pelanggan yang lumayan banyak, namun sekarang sekedar satupun tidak apa-apa
untuknya. Perubahan zaman membuat ia memutar otak untuk mencari pekerjaan
sampingan, menjadi pesuruhpun ia mau melakukannya, karena ia berfikir walaupun
di umurnya yang semakin menua ia tak ingin dirinya meminta-minta belas kasihan
orang-orang dengan cara mengemis dan sejenisnya.
Bagaimanapun
itu adalah pekerjaan yang sangat mulia ketimbang harus mengulurkan tangannya
kepada orang-orang, hanya saja masih banyak orang yang memandang pekerjaanya
yang gampang. Ia tetap tetap mempunyai harapan yang sederhana menurutnya “
melihat cucu bisa sekolah dan makan cukup, saya tidak apa-apa jika harus
bekerja seharian mengelilingi desa-desa” ujarnya dengan senyum kecil yang
melintas di wajahnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar