HI FRIEND

Selasa, 23 Desember 2014

FEATURE (MAWAR)

Menyambung Asa Dengan Kasur Kapuk
Oleh : Mawarni Sofiyani
Tak kenal lelah ia  berjalan dengan tumpukan yang menggundul di pundak rapuhnya yang sudah tak kuat seperti dulu lagi. Ia adalah salah satu orang dari berjuta-juta masyarakat di Indonesia yang pekerjaanya tersisihkan oleh kemajuan zaman.
Di dalam kehidupan yang modern ini sesuatu mudah untuk di dapatkan, dari makanan instan dan produk perabotan yang satu sama lain bersaingan untuk mendapatkan daya jual yang tinggi salah satunya Springbed. namun banyak orang yang tidak tahu akan kemunculan Springbed membuat perajin kasur kapuk semakin menipis dan kehilangan pekerjaan yang sudah mereka jalani dari dulu. Salah satunya Ny. Gabug (52) yang menjalani pekerjaan mendedel dan memperbaiki kasur yang rusak dengan tangan mungil yang keriput, di bantu dengan peralatan sederhanya yang membalut tangan kriputnya ia berusaha menyambung benang untuk menyambung kelangsungan hidupnya bersama sang cucu.
Ia tinggal dengan cucu laki-lakinya Ranto (9) di sebuah rumah yang mampu membuat mereka tidur walaupun dalam keadaaan yang cukup sederhana. Ranto di titipkan dengan neneknya karena sang ibunya sedang mengaduh nasib di Arab Saudi sedangkan ayahnya meninggal di dalam insiden maut ketika ia sedang berlaut di singapura.
Tak peduli bagaimana teriknya matahari yang terpapar di atas sehingga menyengat kulit-kulit tubuhnya yang berwarna hitam di balut dengan keringat yang menetes dari jidatnya, ia tetap berjalan dengan menggendong kapuk-kapuk yang akan menjadi bahan perbaikan untuk kasur yang ia perbaiki. “ semenjak warga-warga sudah memilih membeli kasur springbed, peminat kasur kapuk semakin menipis sehingga jarang sekali warga desa menyuruhnya untuk memperbaiki kasur mereka” ujarnya.
Ny. Gabug mengakui bahwapekerjaan tersebut mnejadi gantungan hidup selama bertahun-tahun , walaupun akhir-akhir ini pelanggan semakin berkurang. Alhasil ia berusaha mencari warga pelanggan dengan cara berjalan kaki mengelilingi desa-desa, ketika ia lelah ia akan berhenti sejenak hanya untuk mengumpulkan tenaga untuk berjalan lagi, bahkan ketika ia mencari pelanggan ia tidak makan karena kefikiran sang cucu yang mungkin belum makan juga, kadang cucunya ingin membantu sang nenek, namun ia melarangnya karena ia tidak mau sang cucu merasakan lelahnya bekerja seharian sambil menenteng barang-barang dan tetek bengek lainya. Ny. Gabug mengakui bahwa ia termasuk salah satu orang yang bertahan untuk tetap menjalani pekerjaan ini, karena rekan-rekannya sudah meneyerah karena minimnya permintaan pelanggan.
Dahulu masih sulit di hitung banyaknya para penjahit kasur ini, namun sekarang sudah bisa di hitung jumlahnya yang sedikit. Uang hasil kerjanyapun kadang kurang untuk membiayai kehidupannya, biaya servis kasur sebesar Rp 30.000-Rp 50.000, di hitung dengan lelahnya ia seharian bekerja namun itu selalu Ny. Gabug terima dengan lapang dada.
 Dalam kehidupan Ny. Gabug ia pernah merasakan senang ketika suami tercinta masih ada dengannya walaupun dalam keadaan yang sederhana, namun kanker yang menggrogoti sang suami semakin parah dan Ny. Gabug tak punya uang untuk berobatnya sang suami, sehingga sang suami meninggalkan ia terlebih dahulu.
Selain memperbaiki kasur kapuk ia mengaku tak punya ke ahlian lain yang bisa ia lakukan untuk menyeimbangi zaman yang semakin maju ini, dengan profesinya ini ia tak berharap banyak, hanya dengan jarum sebesar paku beton dan segumpal kapuk yang selalu menjadi penyambung hidupnya, jika dahulu ia bisa mempunyai pelanggan yang lumayan banyak, namun sekarang sekedar satupun tidak apa-apa untuknya. Perubahan zaman membuat ia memutar otak untuk mencari pekerjaan sampingan, menjadi pesuruhpun ia mau melakukannya, karena ia berfikir walaupun di umurnya yang semakin menua ia tak ingin dirinya meminta-minta belas kasihan orang-orang dengan cara mengemis dan sejenisnya.

Bagaimanapun itu adalah pekerjaan yang sangat mulia ketimbang harus mengulurkan tangannya kepada orang-orang, hanya saja masih banyak orang yang memandang pekerjaanya yang gampang. Ia tetap tetap mempunyai harapan yang sederhana menurutnya “ melihat cucu bisa sekolah dan makan cukup, saya tidak apa-apa jika harus bekerja seharian mengelilingi desa-desa” ujarnya dengan senyum kecil yang melintas di wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar